Langkah besarku kedua melangkah, tinggalkan EGO…
Bungsu empat bersaudara, seorang gadis desa harapan Ibu untuk menemani beliau di masa tuanya. Bungsu yang sejak lahir tumbuh menjadi gadis yang tidak mudah diatur, karena saudara-saudaranya selalu memberikan apa yang menjadi kebutuhannya.
Para saudaranya merasa harus menjaga bungsu karena dia ini lahir saat keruntuhan Bapak. Saudara yang lain sempat menikmati masa-masa gemilang Bapak, sedangkan Bungsu ini setetes pun tidak pernah menikmatinya.
Yap, Bungsu itu adalah aku. Tahun sembilan lima, aku memutuskan meninggalkan Bali. Dari tanah kelahiran, aku diantar oleh wajah sedih seorang Ibu yang telah melahirkanku.
Dalam masa hidupnya aku adalah harapannya untuk bisa bersama tinggal di rumah. Paling tidak setahun saja setelah kelulusan SLTA (semua kakak habis lulus SLTA langsung melangkah meninggalkan rumah untuk mengadu nasib di kota lain).
Si bungsu yang punya tekad kuat melangkah keluar dari Bali. Jakarta tujuanku, tempat di mana aku bisa bertemu dengan keluarga yang mengajakku pindah keyakinan (untuk dibaptis).
Saat itu kakak yang pertama pernah kerja di Jakarta dan tujuan awalku adalah ke tempat dia. Tapi… tidak selang berapa lama aku sampai kakak kembali ke Bali. Aku pun tinggal dengan keluarga yang menjadi tujuan utama aku ke Jakarta.
HIDUP DI KOTA BESAR – Langkah besarku kedua
Berbekal baju di badan, Ijasah SMEA hanya kenal satu keluarga. Saat itu aku hanya bisa menjadi pengasuh bayi (kebetulan aku sangat suka dengan bayi dan anak-anak). Waktu pun berjalan, tujuan utama sudah terlaksana, tinggal kehidupan selanjutnya yang harus dilalui.
Waktu sekolah dulu, cita-cita adalah menjadi Ibu rumah tangga yang baik dan menjadi karyawati administrasi. Jadi tidak ada keinginan besar untuk melakukan ini dan itu. Waktulah yang mengajarkan untuk melangkah. Mencari tahu Tuhan ingin apa dalam kehidupanku.
Ketika orang lain memiliki masa remajanya lebih banyak bermain dan mengenal banyak orang, tapi waktu itu duniaku adalah Gereja, mengasuh bayi dan anak majikan.
Semua ditekuni dengan ikhlas. Waktu pun akhirnya memberikan kepadaku pekerjaan yang kantornya di Tanah Abang. Sebagai administrasi keuangan, pekerjaan pertama adalah menyusun berkas-berkas dengan gaji senilai dua ratus ribu per bulan. Tapi bahagia sekali waktu itu KARENA mimpi terwujud.
Mendapatkan pekerjaan di kantoran itu membuatku memberanikan diri untuk mencari kost. Di tempat inilah aku mengenal seseorang yang akhirnya menjadi sahabat karib, Adelina, Hii Adel ha ha ha.
Kantor di Tanah Abang Tiga, tempat tinggal di Serpong, kereta api pun menjadi pilihan untuk pulang pergi. Jam enam pagi sudah meluncur dari Stasiun Serpong dan tiba di kost jam sepuluh malam. Itu adalah rutinitas dari Senin sampai Jumat. Sabtu dan Minggu? Well, gereja menjadi rumah keduaku.
Setelah itu ada banyak kisah yang ingin dibagikan setelah langkah besar kedua. Kisah yang merubah hidupku dan membuatku seperti sekarang ini.
Semua kisah itu membawaku pada satu hal: bahwa hanya melangkahlah yang membuat kau akan mengerti kenapa semuanya diijinkan terjadi.
Edited by Ryan
Thx for sharing this Nik…
Sama2 Dani.
Ah..mbak, terharu bacanya…
Peristiwa terjadi karena memang itu MAP TUHAN agar dirimu mencapai tujuan…sehat terus ya, Nik