Ketika Rapuh Merangkul Tegar
Bicara soal rasa akan butuh hening untuk melihat lebih jelas.
Kali ini merangkai Rapuh-Tegar-Luka dalam nada rasa yang telah membayangi. Mungkin saja dari nurani mungkin juga lahir logika, semuanya sedang carut marut bergentayangan bersuka tanpa melihat tuannya sedang meramu hidup lebih menyamankan.
Kata pantaskah juga datang membawa haknya, sedangkan logika dan nurani terus saja bertengkar tidak perduli apa itu pantas atau tidak.
Ketegaran yang sudah menjadi nadi terkikis dengan permainan waktu yang sungguh terlalu pongah untuk dilihat. Rapuh mengintip dan mencari cara untuk merangkulnya.
Hingga hening berbisik lembut, pantaskah terluka?
Ketika Rapuh Merangkul Tegar
Alunan lagu Tegar terdengar bersama lirih jiwa yang sedang berjuang.
Apa masih ada tegar bila badai itu terus menghantam
Apa masih teguh berdiri jika petir itu terus saja memainkan musiknya
Apa diri sanggup tegak melihat kedepan jika angit menjerit-jerit
Insan tetaplah insan
Kokoh teguh apapun itu sebutannya
semuanya seakan semu
Ketika rapuh merangkul tegar
mengintip, tersenyum ditengah tanpa henti badai datang
bertaruh dan berkelompok dengan kebutuhan
Mengajak untuk berbisik,
Apa kabar ego?
Rapuh merengek
Ketika kebutuhan bertemu dan rapuhpun seakan ada kawan
mencari pembenaran, idepun hadir untuk mengajak ego
Melihat satu satu celah mana yang ingin dia bisa terlihat
Rapuh
Sepi menusuk
ingin dirangkul
Tak mau bersembunyi lagi
Ego dan kebutuhanpun bertaruh
memberikan angin segar pada rapuh untuk menunjukkan diri
memberi ruang untuk merangkul
Maka,
Ketika rapuh merangkul tegar
Apa masih logika berkuasa?
Luka
Ketika rapuh merangkul tegar,
apa pantas menghadirkan luka
Bilik yang sudah bersih itu, tiba-tiba pintunya terkuak
bukan terang terlihat tapi angin sedikit kaget
Luka-luka yang tersimpan rapi
tertidur pulas dengan tenang
tiba-tiba terbangun
Sadar ternyata mereka belum mati
Masih ada.
Pesona Raja
Siapa yang salah?
Ketika rasa tumbuh berlahan
memberikan harapan
Raja itu,
Manis penuh pesona
mata yang tajam, senyum menusuk
kalimat yang tertuang disetiap lakunya menyiramkan buih-buih harapan.
Hampir saja Ratu itu tersihir pada langkah awal.
Kali ini Ratu perlu berhati-hati karena Raja yang dihadapinya penuh kisah yang mungkin saja keteguhannya bisa terhempas.
Satu Tahun katanya.
Raja berpikir dan berjuang terus mencari jawab,
Kenapa satu tahun?
Pongahnya Waktu
Tentu saja tidak ada yang mampu mengatur waktu
dia punya caranya untuk menceritakan apapun yang tersembunyi
Bisikan-bisikan angin tak pernah bisa mempengaruhinya
Sampaikan saja,
Begitu kata waktu pada angin
Iya tugasnya angin memang hanya bisa sebatas menyampaikan
Menyampaikan apa yang memang sepatutnya
Ketika rapuh merangkul tegar maka realita tersenyum bengis
Silahkan memilih katanya
Boleh saja rapuh merengek, boleh saja dia mencoba diperhatikan tapi kenyataannya jika menuruti rapuh, apa semua yang ada padamu bisa berjalan sesuai baik
Oh ya,
Insan tetaplah insan
punya batas, berteriak pada keadilan
Mana peranmu?
Bertubi, tanpa henti, apakah memang sekuat itu?
Waktu bergulir
Realitapun memainkan kartunya
Keluarga, pekerjaan, pasien dan begitu banyak hal lainnya berkeliaran
Menyadarkan, apa pantas untuk memberi jalan pada luka?
Siapa yang salah?
Raja?
Waktu?
Badai?
Tumpul,
semuanya tumpul, tak bisa digunakan
rasapun hanya tinggal setetes
Hampa?
Entahlah, jika iya kenapa getir, ruas tertoreh itu mengigit?
Ingin tak perduli tapi bukankah semuanya berhubungan.
Pulas bersama Hening
Ketika rapuh merangkul tegar, mencoba tersedu, menerima air mata itu hadir, membiarkan jiwa terbasuh.
Tapi entah, tak ingin tuntas, ada yang masih ditunggu.
Betapa kejamnya waktu memainkan kartunya.
Tidak bisa terburu-buru katanya.
Ingin teriak, sudahlah bukankah semuanya sudah dilihat, kenapa tidak menerima realita.
Masih kabur, hati belum melepaskan, sungguh bukan karena terlalu sayang tapi ini hanya sebuah tugas dan jika diingat itu, ingin berteriak CUKUP.
Sungguh,
Ingin pulas dalam hening.
Melupakan riuh obrolan rapuh, tegar, keinginan, ego dan luka.
Semuanya menuntut.
Jika saja kata benci boleh dihadirkan, teriak paling kencangpun ingin terlontar.
Mengertikah sebuah kalimat yang berulang tertuang,
Capek, cukup, sungguh.
Tunggu,
Sabar katanya,
lirihpun bangun dan bertanya,
Sampai kapan?
4 Responses
Sampai nafas berhenti
Sampai asa tak ada lagi
Baik.
suka banget sama puisi Pulas Bersama Hening, ditunggu untuk Blog selanjutnya ya kak 😀
Hahahahaha semoga ada waktu untuk melanjutkannya hihi